Jumat, 04 April 2014

...Wherever You Are...

...

aishiteru yo
futari wa hitotsu ni

tonight tonight
I just say…


wherever you are, I always make you smile
wherever you are, I'm always by your side
whatever you say,
kimi wo omou kimochi
I promise you "forever" right now

-Wherever You Are- OOR -- Niche Syndrome Album --




Kamis, 04 Juli 2013

Retrospeksi Kamu

Memori memang menyimpan sejuta rahasia, yang membuat seseorang tertatih-tatih mengeja alur masuk-keluarnya. Labirin tak bercelah. Abstrakisme penglihatan, pendengaran, sentuhan,, percumbuan. Tidak mengharapkan untuk membuka, tapi tersingkap begitu saja. Berharap untuk mengendus jejaknya, tapi bisa saja hilang tak menyisakan asa.. Menjengkelkan memang, apalagi itu memori lama, kusam pula. Sudah (mencoba) tidak menjamahnya, tiba-tiba meramaikan kepala, hati, berkerumun seperti lalat di tumpukan bangkai. Percuma diusir, mereka akan kembali lagi, bercampur, mengaduk-aduk emosi.. huh.. emosi melankoli..


Mungkin kalimat acak adul di atas bisa jadi respon atas kejadian yang tepat saat adzan isya berkumandang mampir memberikan sensasi tidak biasa, menjadi main performer dengan soundtrack tetes hujan yang ramai tak seirama. Cukup dengan beberapa detik saja, ada retrospeksi yang meluap. Dan sayangnya itu retrospeksi negatif. Atau barangkali yang negatif itu causal effect-nya.

Waktu tadi itu,, sayup terdengar frasa, "Hei..! hayo siapa..?" 
Seketika itu aku membalas dengan respon, "Oh.. ya.." sesaat setelah coba mengenali wajah pemilik sapaan tadi.
"Ah! itu dia..." -- "Apa itu benar-benar dia? -- "Betul sepertinya dia.." -- "Tapi, kenapa bisa dia?", bersautan suara-suara di pikiranku ketika mencoba mengartikan sekejap perjumpaan itu.
Dan seketika aku mencoba memenangkan keyakinan atas keraguan tadi, baru tersadar dia sudah beberapa langkah di depanku.
Tidak ingin menyisakan kesalahpahaman, dengan terburu-buru aku melontarkan kalimat tanya, "Eh, mau kemana??"
Dia tetap melanjutkan langkahnya dengan agak tergesa. Seragamnya mungkin sudah agak basah terciprat air dari langit yang sedari sore melembabkan kota ini.
Dan kuulangi pertanyaanku tadi dengan level volume yang ditinggikan. Langkahnya tetap menjauh, tidak ada kesempatan bertatap muka kedua-kalinya, mungkin suaraku tersamar hujan ATAU mungkin itu bukan dia.
Ibarat anak kecil yang tiba-tiba disuguhi tayangan breaking news ketika sedang menikmati tontonan kartun sore, aku hanya bisa termangu, sambil melangkah masuk ke warung tenda tempatku menenangkan keluhan lapar perut ini.

Masih, masih saja terbingungkan karena situasi tadi, DIA, memori lama. Ah! memori itu lagi.. Lagi-lagi, tiba-tiba. Cukup beberapa detik saja, 'tentang dia' pun berlalu lalang di otak ini.
Sebelum menjadi, atau mungkin agar semakin menjadi, aku mengetik beberapa kata di ponsel, mengirim pesan singkat untuk dia yang langkahnya sudah tidak terdeteksi mata. Pesan singkat itu berisi pertanyaan, lebih tepatnya protes atas sikap tak acuhnya saat aku memberikan respon untuk sapaan'nya - walaupun aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu. Terbiasa tidak mendapat responnya saat mencoba berkomunikasi, meskipun saat dia yang memulai komunikasi itu. Terombang-ambingkan oleh pikirannya, seperti saat yang lalu.
Ya, yang lalu, memori lama, kusam pula.

Hingga saat ini, saat waktu sudah mencapai sepertiga malam, masih terngiang di benak ini, nostalgia singkat tadi.. Cardigan hitam, hijab oranye - Nostalgia Dahulu, pemicu Retrospeksi tentang Kamu.

Kamis, 24 November 2011

Menikmati Titik Kulminasi Rintihan Tubuh Ini

Di saat malam mulai merangkak menggumuli pagi, badan yang terpapar sinisme angin malam dan pagi berulang-ulang selama seminggu ini sudah terlempar ke titik kulminasi yang membuat badan ini berteriak, mencaci pemilik tubuh ini. Alergi dan gatal yang dalam beberapa jam terakhir ini aku rasakan semakin menjadi. Ya menjadi cukup tangguh untuk memaksaku menelan racun yang di dunia medical disebut obat.

Terlanjur terjadi, terlanjur menjadi! Itu semua karena ego dalam diriku yang sungkan menangkap rintihan tubuh ini yang sudah merintih untuk istirahat layaknya manusia-manusia normal di sekitarku. Ah! tetapi aku tidak bisa... rasa kantuk belum memberiku sinyal untuk mengajakku menjelajah mimpi malam ini. Tertidur pagi, melewati segarnya embun pagi dan hangatnya matahari dengan tak acuh! Itulah aku saat ini. Cara hidup binatang nocturnal yang sedang aku jejaki sekarang. Kadang aku merasa jijik dengan kebiasaanku sekarang. Dan seringkali batinku berbisik,
"Hei! Kau bukan kalong! Kau ini manusia yang tidur di malam hari, yang harusnya bangun saat adzan subuh berkumandang, bukannya setan yang baru terlelap saat muadzin mengajakmu untuk bersujud kepada Yang Kuasa!!"

Ugh! terlalu sering dan lelah khodamku membisikkan untuk bertingkah seperti manusia normal. Ya, senormal-normalnya manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Tapi aku lalai dan terlalu arogan! tidak hanya melupakan tubuh yang sifatnya fana, lemah dan membutuhkan perhatian; tetapi aku juga lupa dengan yang memberiku nyawa dan bahagia. Mungkin, apa yang aku rasa sekarang, titik kulminasi rintihan tubuh ini; radang yang membakar dan menghajar tenggorakanku hingga parau; bengkak di gusi yang membuatku menelan makanan seperti bayi 12 bulan dan gatal yang membuat tubuhku terbekas bentol seperti digigit nyamuk padang savana, merupakan pertanda, reminder bahwa aku harus menghentikan memperlakukan tubuhku seperti budak zaman kolonial DAN peringatan bahwa aku terlalu arogan untuk sekedar mengingat Tuhanku dengan sujud.

Permohonan maaf kepada Yang Memberiku Segala dan berusaha untuk merombak cara-hidup-binatang-noctunal-ku setelah menyudahi coretanku ini, bisa jadi sebagai pembungkam rintihan tubuh dan batinku untuk sekedar berbisik lega.

Ya sudah... mulailah mengajak dan memanggil rasa kantuk walaupun dia belum datang dan siapkan diriku untuk bangun sebelum matahari menyembul untuk menyambut sujud dan maafku kepada sang Khalik.

Good Night, Goodbye Mid-night, for My Good.....
 #danberharapbesoktakadalebamdikepala (:

Rabu, 23 November 2011

How Should I Define this? //Strangeness, Surrealism

1 Minggu yang penuh gejala, menumbuhkan akibat yang mungkin diterjemahkan secara surreal bagi pikiran ini. Mungkin,, seingatku, bukan pertama kali aku merasakan bahkan mengerti ke-surreal-an semacam ini -- strangeness, i think. Tetapi, lagi-lagi seingat memoriku yang telah kusut teracak-acak oleh anarkisme sebuah perasaan dan racun nikotin, aku berpikir bahwa ini sesuatu yang benar-benar berbeda bagiku.Sebuah sosok yang sekonyong-konyong masuk ataupun yang mungkin aku masukkan secara paksa, yang membuat hari-hari terakhir 1 Minggu yang penuh gejala bertransformasi menjadi sebuah makna, tetapi samar, kadang terlihat jelas, kadang lenyap entah kemana. Oh, the Surrealism of Life.Congratulation! You Have Defeated My Tortured Idealism..

Sosok, yang secara magis menciptakan ke-surreal-an ini, yang secara realitas pernah aku temui sebelum perjumpaan yang sesungguhnya, dimana aku dan sosok itu saling bertukar argumen, bualan bahkan tawa. Pada momen pertama dalam perjumpaan yang sesungguhnya, menit pertama, jam pertama bahkan beberapa waktu setelahnya, aku hanya memandang secara biasa- plainly without any damned intention. Tetapi setelah 24 jam hampir terbuang, aku menangkap sebuah, bahkan ratusan efek nyaman dan senang di dalam neurocell-ku ini. Berjibaku memandang dan memahami lewat tulisan hingga menghempaskan agenda-agenda normalku hari itu. Setelah berlanjut dengan kalimat tanya canggung dariku yang mendapat respon segar dari sang pencipta surrealisme itu, aku mendapati argumen dan bualanku beradu dengan sosok itu, lagi. Singkat memang. Tetapi cukup untuk menyembuhkan rasa penasaranku terhadap sosok itu. Rindu?? secepat itu?? Bodoh! Mungkin itu sekedar perspektifku untuk menyambut kata, bualan dan argumen yang membuat otakku merasa nyaman.

Aku masih mencoba memahami siapa yang menang dan kalah dalam pertempuran kecil antar otakku dan perasaanku dalam menterjemahakan this surrealism; bahkan sampai sekarang di saat aku menulis kisah ini secara amatir. Aku butuh meyakinkan pemikiran dan perasaanku bahwa mereka itu satu visi. Tetapi masih sulit saja, masih terlalu dini, bung! Sayangnya, untuk saat ini, aku memaksakan perasaanku untuk meredam perlawanan pikiranku, walaupun belum seutuhnya. Perasaan yang mungkin akan menjatuhkanku, membantingku ke dalam palung depresi untuk kesekian kalinya, yang berhasil membuatku bergumam, bahkan berintensi untuk menulis secara jelas apa yang aku pikir dan rasa tentang sosok itu. Argh!! Apa sebenarnya ini??! Mataku sudah nanar, keseimbangan pikiranku mulai roboh. Roboh karena kehilangan kebutuhanku sebagai manusia normal pada hari ini untuk mengisi perut dan menyegarkan badan yang bau keringat ini, hanya untuk meciptakan grafis - sebuah tribut untuk sosok itu dan hanya untuk menorehkan kisah ini di dalam media yang sosok itu inspirasikan pada diriku. Bahkan hanya untuk menunggu sebuah atau beberapa kata yang dapat menjadi morfin dosis rendah untuk otakku dari sosok itu.

Walaupun aku belum bisa menjadi penengah untuk otak dan perasaanku, tetapi aku telah menemukan jejak jelas untuk sosok yang menyebabkan ke-surreal-an ini:

"I am in Love with Your Uniqueness." 

Tetapi aku masih menjadi pengecut untuk menyatakannya....